Selasa, 07 Februari 2012

Kumpulan Cerita Menarik



“Laskar Pelangi”
 menceritakan kisah masa kecil anak-anak kampung dari suatu komunitas Melayu yang sangat miskin Belitung. Anak orang-orang ‘kecil’ ini mencoba memperbaiki masa depan dengan menempuh pendidikan dasar dan menengah di sebuah lembaga pendidikan yang puritan. Bersebelahan dengan sebuah lembaga pendidikan yang dikelola dan difasilitasi begitu modern pada masanya, SD Muhammadiyah-sekolah penulis ini, tampak begitu papa dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah). Mereka, para native Belitung ini tersudut dalam ironi yang sangat besar karena kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah yang mengeksploitasi tanah ulayat mereka.

Kesulitan terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala sekolah yang sudah tua, Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu Muslimah Hafsari, yang juga sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat besar pendidikan dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tak pernah mendapatkan rapor. Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang hanya mampu menggaji guru dan kepala sekolahnya dengan sekian kilo beras-sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.
Kendati demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya berijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas anak-anak kecil miskin itu.
Dari waktu ke waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati kesebelas anak-anak marjinal tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar menghargai dan menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam hidup ini. Mereka mengajari kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah menyerah, dan gagah berani menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru itu juga merupakan guru yang ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang sangat pintar dan mereka mampu mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan cinta sesama dan mereka amat menyayangi kesebelas muridnya. Kedua guru miskin itu memberi julukan kesebelas murid itu sebagai para Laskar Pelangi.
Keajaiban terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu laskar pelangi mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang, dan Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah-sekolah PN dan sekolah-sekolah negeri. Suatu prestasi yang puluhan tahun selalu digondol sekolah-sekolah PN.
Tak ayal, kejadian yang paling menyedihkan melanda sekolah Muhamaddiyah ketika Lintang, siswa paling jenius anggota laskar pelangi itu harus berhenti sekolah padahal cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP. Ia harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia. Native Belitong kembali dilanda ironi yang besar karena seorang anak jenius harus keluar sekolah karena alasan biaya dan nafkah keluarga justru disekelilingnya PN Timah menjadi semakin kaya raya dengan mengekploitasi tanah leluhurnya.
Meskipun awal tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup karena sama sekali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri tapi semangat, integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu Muslimah tetap hidup dalam hati para laskar pelangi. Akhirnya kedua guru itu bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota laskar pelangi sekarang ada yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and development manager di salah satu perusahaan multi nasional paling penting di negeri ini, ada yang mendapatkan bea siswa international kemudian melakukan research di University de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah universitas terkemuka di Inggris. Semua itu, buah dari pendidikan akhlak dan kecintaan intelektual yang ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di ujung paling Selatan Sumatera sana.
Banyak hal-hal inspiratif yang dimunculkan buku ini. Buku ini memberikan contoh dan membesarkan hati. Buku ini memperlihatkan bahwa di tangan seorang guru, kemiskinan dapat diubah menjadi kekuatan, keterbatasan bukanlah kendala untuk maju, dan pendidikan bermutu memiliki definisi dan dimensi yang sangat luas. Paling tidak laskar pelangi dan sekolah miskin Muhamaddiyah menunjukkan bahwa pendidikan yang hebat sama sekali tak berhubungan dengan fasilitas. Terakhir cerita laskar pelangi memberitahu kita bahwa bahwa guru benar-benar seorang pahlawan tanpa tanda jasa.

Death In The Clouds karya Agatha Cristie
Hercule Poirot, seorang yang bertubuh kecil dengan kumis panjang di atas bibirnya. Kali ini kasus yang dihadapinya adalah pembunuhan di dalam sebuah pesawat terbang menuju Croydon yang sedang ia tumpangi.

Perjalanan menuju Croydon akan terasa biasa-biasa saja untuk kesebelas penumpang beserta dua pramugara pesawat Prometheus hingga terjadinya insiden yang menggemparkan. Seorang nyonya rentenir paling terkenal di Paris, Madame Giselle ditemukan meninggal dunia!

Saat ditemukan oleh seorang pramugara, Henry Mitchell, tubuh Madame Giselle sudah kaku dengan semacam sengatan lebah di lehernya. Barang bukti berupa “lebah” palsu yang telah diolesi dengan bisa ular beracun telah ditemukan. Yang menggemparkan adalah bahwa lebah beracun itu tak lain adalah bagian dari senjata suku asli Amerika Selatan di mana lebah tersebut dilepaskan dengan menggunakan suatu sumpitan. Dan sungguh di luar dugaan bahwa sumpitan yang mungkin digunakan telah ditemukan di belakang kursi Hercule Poirot.

Setelah mendarat di Croydon semua orang yang terlibat pembunuhan dilakukan pemeriksaan. Tak ada yang mengaku kenal baik dengan sang nyonya. Bahkan di antaranya mengaku tak pernah mengenal Madame Giselle sebelumnya. Dan empat hari setelah kejadian, dilakukanlah sidang pemeriksaan untuk kasus itu. Ternyata diluar dugaan, saat sidang pemeriksaan, juri sidang sempat mencurigai Poirot sebagai dalang semuanya, namun karena belum ada bukti yang cukup, maka penyelidikan tentang kasus ini pun dilanjutkan.

Kasus diusut, motif-motif yang mungkin dilakukan oleh masing-masing penumpang pesawat pun diselidiki. Bersama sahabatnya, Inspektur Japp dan rekannya Fournier, Poirot menyelidiki selangkah demi selangkah. Mengunjungi kediaman Madame Giselle, mencari tahu keluarga Madame Giselle yang masih hidup, serta mencoba mencari tahu tentang rekan-rekan bisnisnya. Namun semuanya tak membuahkan hasil. Menurut pelayan kepercayaannya, Madame Giselle tak punya keluarga. Hanya ia mempunyai seorang anak perempuan yang tidak diketahui keberadaannya. Bahkan semua bukti transaksi bisnis Madame Giselle telah dibakar oleh sang pelayan berdasarkan perintah sang nyonya kepada pelayannya jika terjadi sesuatu kepada majikannya. Sang pelayan hanya menyerahkan sebuah buku catatan kecil Madame Giselle yang isinya sekilas tidak bermakna. Namun, oleh Poirot, buku tersebut bisa menjadi alat yang akan membantunya mencari petunjuk.

Beberapa di antara penumpang diperkirakan berhubungan dengan Madame Giselle sehubungan dengan profesinya sebagai seorang rentenir. Salah satu dari kesebelas penumpang diyakini telah berbohong.
Lady Horbury yang diketahui kemudian telah meminjam sejumlah besar uang kepada Madame Giselle untuk membayar semua hutang-hutang judinya. Ia bahkan tak mampu melunasi hutangnya. Dan kematian Madame Giselle tentu memberikan keuntungan baginya. Sepasang ayah dan anak Dupont yang belum diketahui memiliki keterkaitan apa dengan Madame Giselle namun karena profesi mereka sebagai arkeolog yang senang mengumpulkan berbagai benda-benda dari setiap negara, ada kemungkinan memiliki sumpitan semacam itu. Seorang penulis cerita fiksi, Mr. Clancy yang pernah menuliskan cerita tentang suku asli Amerika Selatan dan benar-benar mengaku juga memiliki sumpitan seperti barang bukti. Dan Dr. Bryant yang bisa dengan mudah memperoleh bisa ular dengan bantuan rekannya.
Hal yang membuat Poirot terganggu adalah mengapa sumpitan yang digunakan untuk menembakkan “lebah” tersebut tidak dibuang saja melalui ventilasi pesawat sehingga barang bukti pun tak akan pernah ditemukan. Dan bagaimana mungkin seseorang meniupkan sumpitan tersebut ke arah Madame Giselle tanpa terlihat oleh orang lain. Inilah yang mengejutkan dari buku ini. Ternyata sumpitan tersebut memang dengan sengaja ditunjukkan oleh pelaku dengan tujuan mengecoh penyelidikan. Lalu bagaimana cara pelaku sesungguhnya menaruh seekor “lebah” beracun itu tepat di leher Madame Giselle?

Kemunculan seorang gadis muda bernama Anne Morisot yang tak lain adalah putri dari Madame Giselle. Namun sayang, Anne Morisot harus mengalami nasib yang sama seperti ibunya. Saat akan meninggalkan kota, ia ditemukan meninggal dunia di dalam sebuah kapal yang akan ditumpanginya dalam keadaan memegang gelas yang berisi racun asam hidrosianida. Namun kematian putrinya ini justru mengungkap semua misteri pembunuhan Madame Giselle. Kematian ini membuka petunjuk besar bagi Poirot untuk menangkap sang pelaku.

Tak ada sidik jari, dan tak ada saksi. Namun kebohongan tetaplah kebohongan. Semua akan terbongkar cepat ataupun lambat. Siapakah dalang di balik semua kejadian ini? Dan apa motif sang pelaku melakukan pembunuhan terhadap ibu dan anak ini? Suatu pembunuhan tertutup yang begitu mengesankan. Pembaca dibuat penasaran dengan jalannya cerita. Suatu cerita yang membuat pembaca ikut berpikir dan mengira-ngira siapa pelaku di balik pembunuhan nyonya rentenir tersebut. Jika Anda menyukai sesuatu yang membuat Anda tak dapat melepaskan buku dari tangan Anda karena begitu penasaran terhadap jalan cerita, saya yakin buku Death in The Clouds bisa menjadi pilihan yang tepat.

 The Fourth Estate Novel karya Jeffrey Archer
Bercerita tentang hidup matinya dua kaisar media, Richard Armstrong dan Keith Townsend. Mereka memiliki latar belakang kehidupan yang sangat bertolak belakang. Yang satu pria sederhana keturunan Yahudi dan yang lainnya tinggal di Australia sebagai keluarga terpandang di sana.

Richy kecil terbiasa hidup bersahaja, tetapi mempunyai insting dan jiwa bisnis yang luar biasa. Untuk mencari uang dia rela menjaga kios koran milik pak tua dengan bayaran ala kadarnya, tetapi dengan kelihaiannya mengelola kios malahan akhirnya ia bisa memiliki kios tersebut.

Saat dewasa ia masuk dinas militer dan jiwa bisnisnya tetap tak hilang, ia selalu ingin menguasai media di mana dia hinggap.

Keith kecil selalu hidup berkecukupan, apa saja dia punya, hingga akhirnya dia bisa memegang perusahaan media ayahnya.

Cerita mengerucut hingga persaingan kedua tokoh sentral ini yang ingin menguasai media. Pernah pula sang tokoh memborong koran yang akan terbit esok harinya, hanya karena agar berita keburukannya tak sampai ke para pembaca. Lain waktu menerbitkan buku seorang wanita berpengaruh, hanya agar lolos verifikasi.
Begitu terkenalnya satu tokoh ini, konon di suatu restoran terkenal, dia punya meja khusus yang tak boleh orang lain duduk di sana, dan di dapur chef restoran tersedia saus kegemaran sang tokoh. Kata sichef master, konon inilah restoran satu-satunya yang menyediakan saus dalam botol beling kehijauan asli dari tempat kelahiran sang tokoh.

Akhir cerita, salah satu tokoh berhasil menguasai media dengan jalan yang berliku, terseok-seok, jatuh bangun, dan pada akhirnya tercapai tujuannya.

Dan tokoh lainnya ditemukan tewas di tepi sungai. Ia terjun, bunuh diri dari atas kapal pesiar mewah yang melaju pelan membelah kegelapan malam Amerika.

Grand Avenue - Joy Fielding
Grand Avenue Kami menyebut diri Grand Dames: empat wanita dari berbagai tinggi, berat, dan usia, dengan mengejutkan banyak kesamaan, atau begitulah tampaknya pada saat pertemuan awal kami sekitar dua puluh tiga tahun yang lalu, selain bahwa kita semua hidup di jalan yang tenang yang sama pohon-pohon, semuanya menikah dengan pria ambisius dan sukses, dan masing-masing memiliki seorang putri usia sekitar dua.

Jalan itu bernama Grand Avenue, dan meskipun perubahan-tahun telah dibawa ke Mariemont, daerah pinggiran kelas atas Cincinnati di mana kita tinggal, jalan itu sendiri tetap sangat sama: serangkaian berbingkai kayu rumah ditetapkan jauh kembali dari jalan , jalan berliku itu sendiri malas jauh dari jalan utama yang sibuk itu memotong ke arah taman kecil di ujung nya. Saat itu di taman-yang Parkette Agung, sebagai dewan kota telah dibaptis segitiga kecil tanah, menyadari melekat ironi-bahwa kita pertama kali bertemu hampir seperempat abad lalu, empat wanita dewasa membuat langsung menuju untuk ayunan tiga anak-anak , mengetahui lebih longgar akan diturunkan ke sandbox, anak kecewa dengan keras ratapan tidak senang untuk sisa dunia untuk mendengar. Bukan pertama kalinya seorang ibu telah gagal untuk hidup sampai dengan harapan putrinya. Tentu saja bukan yang terakhir.

Saya tidak ingat siapa yang kalah, atau yang mulai berbicara dengan siapa, atau bahkan apa bahwa percakapan awal tentang. Aku hanya ingat betapa mudahnya kata-kata mengalir di antara kami, bagaimana mulus kami pindah dari satu topik ke yang lain, anekdot akrab, senyum pemahaman, selamat datang, jika tidak terduga, keintiman dari itu semua, semua lebih diterima justru karena itu begitu tak terduga .

Lebih dari apa pun, saya ingat tawa. Bahkan sekarang, bertahun-tahun kemudian, begitu banyak air mata kemudian-dan meskipun segala sesuatu yang terjadi,, tak terduga kadang-kadang mengerikan jalan memutar hidup kita mengambil-aku masih bisa mendengarnya, koleksi, namun anehnya tidak disiplin merdu dari tawa dan tawa yang dikocok antara oktaf dengan berbagai tingkat intensitas, masing-masing tertawa tanda tangan, sebagai berbeda seperti juga diri kita sendiri. Namun, seberapa baik suara-suara yang beragam dicampur bersama-sama, bagaimana hasil akhir yang harmonis. Selama bertahun-tahun, aku membawa suara tawa dini dengan mana pun aku pergi. Aku memanggilnya di akan. Ini mendukung saya. Mungkin karena ada begitu sedikit itu di kemudian hari.

Kami tinggal di taman hari itu sampai hujan mulai turun, tiba-tiba musim panas mandi tidak ada yang siap, dan salah satu dari kami menyarankan mentransfer partai dadakan ke rumah seseorang. Pasti aku, karena kami berakhir di rumah saya. Atau mungkin itu hanya bahwa rumah saya adalah paling dekat dengan taman. Saya tidak ingat. Aku ingat basement, sepatu off, rambut basah, pakaian basah, minum kopi yang baru diseduh dan masih tertawa, saat kami menyaksikan putri kami bermain paralel di kaki kami, rasa bersalah menyadari bahwa kami memiliki lebih menyenangkan daripada mereka, bahwa kami anak-anak ingin segera berada di rumah mereka sendiri, di mana mereka tidak harus berbagi mainan mereka, atau bersaing dengan orang asing atas perhatian ibu mereka.

"Kita harus membentuk klub," usul salah satu wanita. "Lakukan ini secara teratur."

"Ide bagus," sisa dari kita dengan cepat setuju.

Untuk memperingati kesempatan itu, saya menggali keluar suami saya sangat diabaikan Kodak Super 8 kamera film, di mana aku putus asa karena saya dengan mitra modern, dan hasil akhirnya adalah sesuatu yang kurang dari memuaskan, banyak yang cepat, gerakan dendeng dan wanita kabur hilang bagian atas kepala mereka. Beberapa tahun yang lalu, aku punya film ditransfer ke VHS, dan, anehnya, tampak jauh lebih baik. Mungkin teknologi membaik, atau lebar layar TV saya, sepuluh kaki dengan dua belas yang turun dari langit-langit hanya dengan menekan tombol. Atau mungkin bahwa visi saya kabur hanya cukup untuk mengimbangi kegagalan saya sebagai teknisi, karena wanita sekarang tampak jelas, sangat fokus.

Melihat film ini, apa yang mengejutkan bagi saya yang paling, apa, pada kenyataannya, tidak pernah gagal untuk mengambil napas saya pergi, tidak peduli berapa kali aku melihatnya, bukan hanya bagaimana ineffably, tak tertahankan muda kami semua, tapi bagaimana segala sesuatu yang kita -dan segala sesuatu yang kita menjadi-sudah hadir dalam wajah-wajah ajaib tak bergaris. Namun, jika Anda bertanya kepada saya untuk melihat ke wajah-wajah yang tampak bahagia dan memprediksi masa depan mereka, bahkan sekarang, dua puluh tiga tahun kemudian, ketika saya tahu betul bagaimana semuanya ternyata, aku tidak bisa melakukannya. Bahkan mengetahui apa yang saya tahu, adalah mustahil bagi saya untuk mendamaikan perempuan dengan nasib mereka. Apakah itu alasan saya kembali begitu sering untuk rekaman ini? Apakah aku mencari jawaban? Mungkin aku mencari keadilan. Mungkin perdamaian.

Atau resolusi.

Mungkin sesederhana-dan sulit-seperti itu.

Aku hanya tahu bahwa ketika saya melihat keempat wanita muda, termasuk saya sendiri, remaja kita ditangkap, dipenjara, karena itu, pada rekaman video, saya melihat empat orang asing. Tidak satu terasa lebih akrab bagi saya daripada yang lain. Saya sebagai asing pada diriku sendiri sebagai salah satu dari yang lain.

Mereka mengatakan bahwa mata adalah cermin jiwa. Siapa pun dapat menatap mata keempat wanita benar-benar berpura-pura melihat begitu dalam? Dan bayi-bayi tak berdosa manis pada ibu mereka 'lengan-ada bahkan salah satu di antara Anda yang dapat melihat melampaui mata lembut yang besar, yang bisa mendengar jantung pemukulan rakasa di bawah ini? Saya tidak berpikir begitu.
Kita melihat apa yang ingin kita lihat.

Jadi ada kita duduk, dalam semacam bentuk bebas semi-lingkaran, bergantian kami tersenyum dan melambaikan tangan untuk kamera, empat wanita rata beguilingly dilemparkan bersama-sama oleh keadaan acak dan tiba-tiba hujan sore hari. Nama kami adalah sebagai biasa seperti kami: Susan, Vicki, Barbara dan Chris. Nama yang cukup umum bagi para wanita generasi kita. Putri kami, tentu saja, adalah cerita yang berbeda. Anak-anak tujuh puluhan, dan produk dari pinggang kami imajinatif dan istimewa, keturunan kita adalah sesuatu tetapi biasa, atau sehingga setiap dari kita adalah benar-benar yakin, dan nama-nama mereka tercermin bahwa keyakinan: Ariel, Kirsten, Tracey, sebuah Montana. Ya, Montana. Itu dia di paling kanan, yang berambut pirang, apel berpipi kerub menendang marah di pergelangan kaki ibunya, mata biru besar biru mengisi dengan air mata pahit, tepat sebelum kaki montok kecilnya membawa tubuh kaku kecilnya keluar dari jangkauan kamera. Tidak ada yang dapat mengetahui sumber ledakan mendadak ini, terutama ibunya, Chris, yang melakukan yang terbaik untuk menenangkan gadis kecil, untuk membujuk kembali ke dalam keamanan lengan terulur. Sia-sia. Montana tetap keras kepala luar frame, tidak mau dibujuk atau terhibur. Chris memegang postur ini tidak nyaman untuk beberapa waktu, bertengger di ujung tinggi-didukung kursinya, lengan ramping diperpanjang dan kosong. Rambut sebahu pirang ditarik kembali dan jauh dari berbentuk hati wajahnya ke tinggi kuda-ekor, sehingga dia lebih mirip babysitter baik digosok remaja daripada seorang wanita mendekati tiga puluh. Ekspresi wajahnya mengatakan dia akan menunggu selamanya bagi putrinya untuk memaafkannya pelanggaran ini membayangkan dan datang kembali ke tempat asalnya.

Tampaknya tak terbayangkan bagi saya sekarang, namun aku tahu itu benar, bahwa tidak salah satu dari kami menganggap dirinya sangat cantik, apalagi yang indah. Namun Barbara, yang mantan Miss Cincinnati dan seorang finalis untuk gelar Miss Ohio, dan yang tidak pernah meninggalkan kecintaan nya untuk rambut besar dan sepatu hak tinggi, terus-menerus terganggu oleh keraguan diri, selalu khawatir tentang berat dan penderitaan atas setiap kecil kerut yang menggoda pada kulit di sekitar mata cokelatnya yang besar dan penuh, bibir hampir menjijikkan subur. Itu dia, di samping Chris. Helm tinggi rambutnya agak gelap telah diratakan oleh hujan, dan gaya nya Ferragamo pompa berbaring ditinggalkan oleh pintu depan tengah sandal wanita lain dan sepatu, tetapi postur tubuhnya masih kontes kecantikan yang sempurna. Barbara tidak pernah mengenakan flat, bahkan ke taman, dan dia tidak memiliki celana jins biru. Dia tidak pernah kurang dari berpakaian rapi, dan, sejak dia berumur lima belas tahun, tak seorang pun pernah melihatnya tanpa make-up penuh, dan itu termasuk suaminya, Ron. Dia mengaku kepada kelompok bahwa dalam empat tahun mereka sudah menikah, dia sudah bangun pukul enam setiap pagi, penuh setengah jam sebelum suaminya, untuk mandi dan menata rambutnya dan make-up. Ron jatuh cinta pada Miss Cincinnati, dia menyatakan, seakan menangani panel hakim. Hanya karena dia sekarang Mrs tidak memberinya hak untuk jatuh pada pekerjaan. Bahkan pada akhir pekan, ia keluar dari tempat tidur cukup awal untuk memastikan ia cocok rapi sebelum putrinya, Tracey, bangun, menuntut untuk diberi makan.
Bukan berarti Tracey pernah satu untuk membuat tuntutan. Menurut Barbara, putrinya itu, dalam segala hal, anak yang sempurna. Bahkan, satu-satunya kesulitan yang pernah ia miliki dengan Tracey telah di jam-jam sebelum kelahirannya, saat bayi sembilan pon-plus, aman menetap dalam posisi sungsang, dan tidak terlalu ingin membuat tampilan, menolak untuk drop atau berbalik, dan harus diambil oleh bagian raja, meninggalkan bekas luka yang memanjang dari pusar-Barbara untuk pubis nya. Hari ini, tentu saja, dokter umumnya memilih untuk menodai kurang, lebih menarik kosmetik lintas-potong, salah satu yang mengganggu otot yang lebih sedikit dan tersembunyi di balik garis bikini. Hari bikini Barbara berada di belakangnya, ia mengakui sedih. Sesuatu yang lain perlu dipikirkan. Hal lain yang memisahkan 'Mrs dari Cincinnatis Nona dunia ini.

Perhatikan bagaimana anggun Barbara slide dari kursi ke lantai, santai mengamankan roknya di bawah lutut sambil menunjukkan delapan belas bulan-putrinya yang berusia cara terbaik untuk stack blok dia telah berjuang dengan, sabar menjemput mereka setiap kali mereka jatuh, Tracey mendorong untuk mencoba lagi, akhirnya mereka susun sendiri, maka restacking mereka setiap kali putrinya sengaja mengetuk mereka atas. Setiap saat sekarang, Tracey akan meringkuk dalam pelukan ibunya pelindung, rambut ikal gelap ia diwarisi dari Barbara sekitar wajah porselen bonekanya, dan menutup matanya dalam tidur.

"Ada seorang gadis kecil," aku masih bisa mendengar Barbara mengatakan, dengan suara merdu menenangkan dia selalu terpengaruh ketika berbicara pada putrinya, saat aku memerhatikan bibirnya bergerak tanpa suara di film, "yang memiliki sedikit ikal, tepat di tengah dahinya. Dan ketika dia baik, dia sangat, sangat bagus Dan ketika dia buruk, dia. ...."
"Seorang gadis benar-benar buruk!" Tracey teriak gembira, mata cokelat muncul terbuka. Dan kami semua tertawa.
Barbara tertawa paling keras, meskipun wajahnya bergerak sedikit. Ketakutan mereka akan datang keriput, dan, pada 32, yang tertua dari wanita ini, ia akan menyempurnakan seni tertawa tanpa benar-benar melanggar tersenyum. Mulutnya akan terbuka dan suara, keras bahkan kasar, akan muncul, tapi bibirnya tetap penasaran statis, menolak baik untuk menggoyangkan atau keriting. Hal ini berbeda dengan Chris, yang setiap fitur terlibat ketika dia tertawa, mulutnya memutar cara ini dan bahwa dalam meninggalkan ceroboh, meskipun suara yang dihasilkan sangat rapuh, bahkan tentatif, seakan dia tahu ada harga yang harus dibayar karena terlalu bagus waktu.

Hebatnya, Barbara dan Chris tidak pernah melihat satu sama lain sebelum sore itu, meskipun fakta bahwa kita semua akan tinggal di Grand Avenue selama setidaknya satu tahun, tapi mereka langsung menjadi yang terbaik dari teman-teman, bukti positif dari pepatah lama yang berlawanan menarik. Selain dari perbedaan fisik yang jelas - pirang vs cokelat, pendek versus tinggi, berwajah segar bercahaya dibandingkan Day-Glo kemilau - kodrat batin mereka adalah sebagai berbeda sebagai permukaan luar mereka. Namun mereka saling melengkapi dengan sempurna. Chris lunak di mana Barbara keras, kuat di bagian Barbara yang lemah, sopan mana Barbara sesuatu tapi. Mereka dengan cepat menjadi tak terpisahkan.
Itu Vicki, mendorong dirinya ke dalam bingkai, membuat kehadirannya terasa, seperti yang ia lakukan dengan hampir segala sesuatu dalam hidupnya. Pada dua puluh delapan, Vicki adalah yang termuda dari para wanita dan mudah yang paling dicapai. Dia adalah seorang pengacara, dan, pada saat itu, satu-satunya dari kami yang bekerja di luar rumah, meskipun Susan terdaftar di Universitas, bekerja menuju degreee sastra Inggris. Vicki pendek rambut cokelat kemerahan, dipotong diagonal, gaya yang menekankan pesawat tajam wajahnya yang panjang, tipis. Matanya cokelat dan kecil, meskipun hampir mengkhawatirkan intens, bahkan mengintimidasi, tidak diragukan lagi ditambah untuk litigator ambisius dengan sebuah firma hukum bergengsi di pusat kota. Vicki lebih pendek dari Barbara, lebih tinggi dari Chris dan pada 105 pon, tertipis kelompok. Kerangka berperawakan kecil membuat dia terlihat seolah-olah rapuh, tapi dia menyembunyikan kekuatan dan energi tak terbatas. Bahkan ketika duduk diam, saat dia di sini, ia tampak bergerak, tubuhnya bergetar, seperti garpu tala.

Putrinya, Kirsten, di hanya dua puluh dua bulan, sudah klon ibunya. Dia memiliki struktur tulang yang sama halus dan mata hazel yang jelas, dengan cara yang sama untuk melihat hanya melewati Anda ketika Anda berbicara, seolah-olah mungkin ada sesuatu yang lebih menarik, lebih menarik, lebih penting, terjadi tepat di belakang Anda, bahwa dia tidak bisa kesempatan yang hilang. Balita selamanya atas dan ke bawah, bawah dan atas, bolak-balik, yang menuntut perhatian ibunya dan persetujuan. Vicki memberi putrinya sebuah, sesekali linglung tepukan di kepala, tapi mata mereka jarang terhubung. Mungkin anak itu buta, seperti yang kita semua pada awalnya, oleh Sparkler berlian yang sangat besar pada jari ketiga tangan kiri Vicki. Perhatikan bagaimana untuk sementara menghapus semua gambar yang lain, memutar layar putih hantu.

Vicki menikah dengan seorang pria sekitar dua puluh lima tahun dia senior, yang sudah dikenalnya sejak kecil. Bahkan, ia dan putra sulungnya telah teman sekelas sekolah tinggi dan kekasih pemula. Sampai, tentu saja, Vicki memutuskan ia lebih suka ayah untuk anak, dan skandal merobek keluarga terpisah. "Anda tidak dapat mematahkan sebuah pernikahan yang bahagia," Vicki meyakinkan kami sore itu, mencuri sebuah kutipan dari melanjutkan Elizabeth Taylor, dan sisanya dari para wanita itu mengangguk berbarengan, meskipun mereka tidak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka.

Vicki suka shock, wanita dengan cepat belajar, sama seperti mereka belajar untuk diam-diam menikmati terkejut. Untuk apapun kesalahannya, dan mereka banyak, Vicki jarang kurang dari benar-benar menghibur. Dia adalah percikan yang memicu nyala api, yang menandakan kehadiran partai resmi bisa dimulai, penggerak, shaker, yang oleh semua orang berdecak atas dan cerewet tentang. Bahkan jika dia bukan orang yang mendapat bola bergulir - mengejutkan, biasanya Susan yang lebih sederhana yang melakukan itu - Vicki selalu orang yang berlari dengan itu, yang memastikan timnya mencetak touchdown kemenangan. Dan Vicki selalu bermain untuk menang.

Selanjutnya intensitas melingkar Vicki, Susan tampaknya hampir megah, duduk di sana dengan tangan terlipat dengan mudah di pangkuan, cokelat rambut lipat rapi di bawah dagunya, gadis Breck klasik, kecuali bahwa dia masih membawa sekitar lima belas dari £ 35 ia diperoleh ketika hamil dan belum mampu meneteskan sejak lahir Ariel. Pound ekstra membuatnya terasa sadar diri dan kamera pemalu, meskipun ia selalu lebih memilih ke pusat-sela panggung. Para wanita lain yang ditawarkan dorongan dan saran, berbagi makanan mereka dan rezim latihan, dan Susan mendengarkan, bukan karena kesopanan, tetapi karena ia selalu senang mendengarkan lebih dari berbicara, pikirannya spons, menyerap setiap berita gembira disodorkan. Dia membuat catatan dari saran mereka kemudian di jurnal dia telah menjaga sejak Ariel lahir. Dia pernah bermimpi menjadi penulis, dia mengakui saat ditekan, dan Vicki mengatakan bahwa ia harus berbicara kepada suaminya, yang memiliki serangkaian majalah perdagangan dan sedang berpikir untuk memperluas kerajaannya tumbuh.

Susan tersenyum, putrinya gelitik kakinya saat dia bermain gembira dengan jari kaki Susan, dan mengubah topik pembicaraan, lebih memilih untuk berbicara tentang dia menjalari di Universitas. Mereka lebih nyata dari mimpi, dan Susan apa-apa jika tidak praktis. Dia berhenti sekolah saat ia menikah dalam rangka untuk membantu meletakkan suaminya melalui sekolah kedokteran. Hanya sekarang bahwa praktek itu didirikan dan akan kuat telah ia memutuskan untuk kembali ke sekolah untuk menyelesaikan gelar sarjana. Suaminya sangat mendukung keputusannya, ia mengatakan kepada perempuan, dan ibunya sedang membantu dengan melihat setelah Ariel pada siang hari.

"Kau beruntung," kata Chris padanya. "Ibuku tinggal di California."

"Ibuku meninggal setelah Tracey lahir," kata Barbara, mata langsung mengisi dengan air mata.

"Saya belum melihat ibu saya sejak saya berusia empat tahun," Vicki mengumumkan. "Dia kabur dengan rekan bisnis ayahku. Apakah tidak mendengar dari jalang sejak."

Dan kemudian ruangan terdiam, seperti yang sering terjadi setelah salah satu pernyataan Vicki dihitung.

Susan melirik jam tangannya. Yang lainnya mengikuti. Seseorang menyebutkan keterlambatan jam, bahwa mereka mungkin harus mendapatkan rumah. Kami memutuskan pada gambar kelompok untuk memperingati sore hari, dan bersama-sama kami berhasil untuk menopang kamera di atas tumpukan buku di ujung ruangan dan mengatur diri kita dan putri kita sehingga kita semua muat di dalam ruang lingkup kamera.

Jadi ada kita, ladies and gentlemen.

Di salah satu sudut, Susan mengenakan celana jins biru dan, ceroboh kemeja longgar, menyeimbangkan putri Ariel di pangkuannya, tubuh kurus anak kontras dengan tenang massal ibunya.
Di sudut lain, Vicki, mengenakan celana pendek putih dan atasan halter polka dot, berusaha melepaskan tangan putrinya Kirsten dari sekitar lehernya, mata kecil nakal terbakar saat ia mulut yang cabul diam langsung ke lensa kamera.

Di antara, Barbara dan Chris, Chris mengenakan celana putih dan merah-putih bergaris T-shirt, berusaha untuk mencegah putrinya Montana dari meninggalkannya lagi, sementara Tracey duduk patuh di pangkuan ibunya mengitari itu, Barbara memanipulasi Tracey telah sampai dan bawah, baik sebagai ibu dan anak sebagai salah satu gelombang.

Grand Dames.

Teman-teman untuk hidup.

Tentu saja, salah satu dari kami ternyata tidak menjadi teman sama sekali, tapi kami tidak tahu kemudian.

Juga tidak bisa setiap dari kita telah meramalkan bahwa dua puluh tiga tahun kemudian, dua wanita akan mati, satu dibunuh di paling kejam mode.

Yang, tentu saja, meninggalkan saya.

Aku menekan tombol lain, mendengarkan menggulung pita, pergeseran harap di kursi, menunggu film untuk memulai lagi. Mungkin, saya pikir, sebagai wanita tiba-tiba muncul kembali, bayi di pangkuan mereka, masa depan mereka di wajah mereka, ini akan menjadi waktu itu semua masuk akal. Aku akan menemukan keadilan yang kucari, kedamaian yang saya inginkan, resolusi saya butuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger
WELCOME TO MY BLOG & THANKS FOR VISTTING