* Emprit Gantil
Malam sunyi dan dingin, angin bergulung-gulung meniupkan debu dan mengusir rintik hujan yang mencoba mendekat. Awan hitam menggantung, mendekap erat sang rembulan dalam pelukannya. Berpendar-pendar Cahaya suramnya tak mampu menerangi malam. Malam yang nyaris bisu dan buta. Ditengah kesunyian itu, suara emprit gantil terdengar mendirikan bulu roma.
Burung penanda kematian itu sudah datang, entah siapa yang kini akan dibawanya. Seorang gadis kecil beringgsut keluar dari rumah sambil membawa senter. Di carinya di pucuk-pucuk pohon, sosok yang sangat menakutkan itu. Disana, di pucuk pohon belimbing tampak seekor burung kecil sedang asik bernyanyi lirih. Gadis itu mengambil batu sekepalan tangan, dan melemparkan kearah burung tersebut. Suara gemeretak, daun dan ranting yang patah segera terdengar. Suara burung itupun segera lenyap bak ditelan bumi. Didengarkannya dengan seksama, sampai suara burung itu benar-benar sudah menghilang.
Nina, namanya, usianya belum genap delapan tahun ketika ibunya meninggal dunia karena sakit. Sejak itu dia hidup hanya berdua bersama sang ayah. Hingga kini usianya menginjak 10 tahun, ayahnya belum lagi menikah. Dirumah itu hanya ada seorang pembantu yang menyiapkan makan dan mencuci pakaian, sore hari nya si bibi ini pulang. Tinggalah bocah ini seorang diri dirumah menunggu ayahnya pulang.
“Nina, lagi ngapain malam-malam diluar? Seru ku.
“ itu om, ada burung emprit gantil dari tadi bunyi terus, aku lempar pakai batu tadi supaya pergi jauh”, jawabnya.
“Om apa setiap ada burung emprit gantil itu pasti ada yang meninggal? Tanya nya dengan wajah polos.
“ he he he itu hanya mitos, kamu kan sering denger suara burung itu, bukan Cuma malam ini kan? Kadang pagi-pagi atau siang hari. Minggu lalu juga ada kan? Denger ngak? Tapi ngak ada tuh orang kampung kita yang meninggal, iya kan? Jawabku mencoba menjelaskan.
“tapi om, dulu, emprit gantil yang membawa mama, pergi”, serunya dengan mimik serius.
“ he hehe nina, itu hanya kebetulan saja, tidak ada hubungannya dengan emprit gantil”
“Tapi Nina khawatir Om, papa kok belum pulang ya, sudah jam tujuh nih, biasanya sebelum magrib sudah sampai dirumah’
“udah kamu telepon?
“sudah om, tapi dari tadi ngak nyambung-nyambung, nina jadi khawatir, apalagi denger suara emprit Gantil tadi”. Wajah polosnya membuatku tersenyum.
“ Ya sudah ditunggu aja, masih macet kali, oh ya kamu mau nunggu dirumah Om, ada sarah dan diva tuh lagi main monopoli.
“Ngak dah om, aku mau ngerjain PR dulu”,jawab nya.
“Kamu udah makan belum?
“Belum, nanti tunggu papa pulang aja, terima kasih ya Om, nina mau masuk kedalam dulu”.
Belum lama nina masuk kerumahnya, suara burung itu kembali terdengar. Memiriskan hati, senandung kesedihan yang memang membuat setiap orang merasa bergidik mendengarnya.
*****
Jam 7.15 malam, Aku duduk sambil menikmati secangkir teh hangat. Koran sore sudah hampir habis kubaca ketika Handphoneku berpendar-pendar, sebuah SMS masuk. Isteriku mengirimkan sebuah pesan, “ mas aku sudah dekat rumah, kamu mau dibelikan makanan apa? Buat anak-anak sudah aku belikan ayam tadi di Mac Di , Sop iga atau Sate bang kumis mau ngak?
Aku mengetikan sebaris kata, “ sop iga ”, jawabku singkat. Aku memang paling malas menjawab sms. Cuma kata-kata singkat saja yang biasa ku ketikan. Isteriku sudah maklum dengan kebiasaanku itu.
Teh sudah habis kuminum sampai tegukan terakhir, Koran sudah selesai kubaca sampai ke iklan-iklan nya. Ketika tiba-tiba Pak RT datang bersama seorang Polisi.
“Assalamualaikum,
“Wa alaikum salaam” jawabku, dengan seribu tanda tanya dalam diri.
Pak RT menjelaskan maksud kedatangannya. Seketika dunia seakan runtuh, mata ku berkunang-kunang,tubuhku lemas tak bertenaga. Hanya kata-kata terakhir pak RT yang masih bisa kutangkap.”istri anda mengalami kecelakaan, motornya ditabrak truk“.
Suara Emprit Gantil itu mengiang-ngiang terus dalam telingaku. Dendang kesedihan yang terus saja dinyanyikan. Lirih menusuk-nusuk hati, mengabarkan berita duka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar